#horrorstory
Terdengar suara ketukan dipintu. Pelan tapi mampu mengalahkan suara hujan. Aku tidak langsung bangkit dari duduk ku. Dengan rasa penasaran, kupasang telinga dengan tajam. Tidak terdengar apapun kecuali suara hujan.
Aku kembali menatap buku yang ada di pangkuanku. Lalu terdengar suara ketukan lagi. Diikuti dengan suara panggilan.
"Tante..."
Aku hapal dengan suara itu. Aku segera meloncat ke pintu. Tanpa mengintip, aku langsung membuka pintu.
"Rizki...?! Sudah pulang? Kenapa hujan-hujanan?" tanyaku penasaran campur heran. Ku lihat pagar halaman masih tertutup rapat. Dan tidak ada kendaraan. "Kamu naik apa tadi?"
"Dingin, tante," ucap Rizki tanpa menjawab pertanyaanku. Suaranya bergetar.
"Ya udah, ayo masuk," ajak ku. Rizki masuk terlebih dahulu, diikuti aku. Saat hendak menutup pintu, aku merasakan hawa dingin mengelus tengkukku. Tapi tak begitu kuperhatikan.
"Langsung ke kamar depan aja, Riz. Ada bajumu di lemari."
Rizki berbelok masuk ke kamar tamu. Aku membuntutinya setelah terlebih dulu melempar buku ke sofa.
Sampai di dalam kamar, kulihat Rizki berdiri mematung di depan kamar mandi.
"Tunggu apa lagi? Nanti masuk angin lho," tegurku sambil membuka lemari untuk mengambilkan handuk dan baju ganti.
Rizki masih berdiri mematung membelakangiku.
"Rizk?"
Rizki membalikan badan. Dia menatapku. Wajahnya pucat.
"Ada apa?" tanyaku dengan rasa ingin tahu.
"Tolong, tante. Hanya tante yang bisa menolong kami..." ucap Rizki lirih.
"Menolong apa? Kau di marahi ibumu?"
"Ibu?"
"Bilas dulu tubuhmu. Lalu kita bisa bicara sambil minum teh hangat. Aku tunggu di meja makan." Aku mengulurkan handuk dan baju ganti kearahnya.
Bukannya menerima handuk dan baju ganti, tangan Rizki malah terulur untuk memegang pergelangan tanganku. Aku tersentak saat merasakan tangan Rizki begitu dingin.
"Tante...." Rizki menatapku nanar. Aku balas menatapnya. Tatapan Rizki terasa aneh. Dingin dan hampa. "Maafkan aku, tante. Aku tak mendengar nasihat tante. Aku menyesal."
Aku mengelus rambutnya Rizki. "Sudah di maafkan. Tante tidak marah padamu. Tante sayang Rizki. Ok."
Setelah berkata begitu aku berbalik pergi. Hendak merebus air untuk membuat teh. Sebelum menutup pintu kamar, sudut mataku menangkap sosok Rizki yang masih berdiri kaku.
Sebenarnya ada rasa aneh yang mengelitiki hatiku. Tak biasanya Rizki yang ceria dan hangat menjadi kaku dan setegang itu. Mungkin berjalan di bawah hujan membuatnya kedinginan.
Dan apa katanya tadi? Tolong? Ah dia pasti habis dimarahi mamanya. Makanya hujan-hujan kabur ke sini.
Hujan sudah mulai reda. Suara petir sudah tak terdengar lagi. Setelah menjerang air ditungku, ku hidupkan televisi. Sambil mendengar suara penyiar membaca ulasan berita, aku menghangatkan pizza untuk teman minum teh.
Begitu air ditungku mendidih, segera kusiapkan teh yang akan kuseduh. Ketika sedang menuang air ke dalam gelas itulah aku mendengar penyiar membacakan berita tentang proses evakuasi korban kecelakaan lalu lintas di Jalan Lintas Liwa. Tepatnya disekitar daerah puncak Fajar Bulan.
Mendengar lokasi kecelakaan ada didaerahku, aku segera menghentikan aksiku menyeduh teh. Aku melangkah kedepan tv. Menambah volumenya dan mendengarkan berita dengan seksama. Ada video evakuasinya.
Karena medannya berat serta hujan yang turun sangat deras, maka proses evakuasi terkendala. Hingga berita itu diturunkan, kendaraan dan jasad korban masih berada di dasar jurang. Aparat hanya bisa memastikan kalau tidak ada korban selamat. Semua tewas di tempat kejadian.
Korban yang berjumlah total 21 orang itu adalah siswa dari SMA*** yang sedang dalam perjalanan pulang dari studytour ke Danau Ranau.
Siswa SMA***? Aku mencoba mencerna isi berita secara seksama. Aku teringat Rizki. Bukankah Rizki adalah siswa SMA ***? Dan bukankah dia baru pulang dari study tour?
Aku berlari ke kamar tamu dengan niat akan memberitahu Rizki tentang kabar kecelakaan itu. Tapi saat aku masuk kedalamnya, tidak kutemukan siapa-siapa. Kamar tamu kosong. Ada handuk dan baju ganti di sudut tempat tidur. Tapi tidak ada tanda kalau ada orang di kamar itu.
Aku mendorong pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Kamar mandi itu kosong. Lantainya pun masih kering.
Aku berlari ke luar kamar ketika kudengar penyiar membaca daftar korban yang meninggal.
"Rizki Aditya Hermawan. 16 tahun. Kelas 3 SMA***...."
#NB: Semalam, saat bangun tengah malamunsyuk isya, kulihat serpihan bohlam LED berserakan di lantai kamar. Entah apa yang terjadi. Bagaimana bohlam itu bisa hancur berkeping-keping seperti itu. Karena aku tidak mendengar suara apa-apa. Mungkin tidurku terlalu lelap.
Tambahkan Komentar Sembunyikan