Tumbal Cinta di lereng Arjuna

Pandaan, Januari 2010

Dhenia berdiri menyandar di tiang teras sambil menatap puncak Arjuna yang hijau membiru di kejauhan. Nyeri di hatinya sedikit terobati melihat keindahan yang terhampar di depannya. Tapi tetap saja tak mampu menepis kenyataan tragis bahwa dirinya hanyalah Tumbal Cinta dari pria yang sangat di pujanya.   Hans....

"Ibu Nia, saya pamit bu..." suara Salim mengangetkan Dhenia. Dhenia melihat Salim sopirnya berdiri di halaman dengan takzim.

"Silahkan, pak." sahut Dhenia. "Hati-hati di jalan.."

Salim mengangguk. Tapi dia tidak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ada keraguan di wajahnya.

"Ada apa, pak?" tanya Dhenia heran.

"Apa tidak sebaiknya saya menemani ibu di sini? Siapa tahu ibu ingin keluar atau jalan-jalan. Disini tidak ada kendaraan, bu.." jelas Salim.

Dhenia tersenyum, "tidak usah, pak. Bapak pulang saja. Saya tidak berniat kemana-mana kok."

"Kalau Tuan bertanya bagaimana?"

"Bilang saja kalau saya menginap di sini untuk beberapa hari..."

"Tapi bu, "

Dhenia melambaikan tangannya, "jangan khawatir, pak Hans tidak akan marah. nanti saya akan menelpon beliau. Bapak pulang saja, sudah hampir sore.."

"Baik,bu. Kalau begitu saya pamit dulu. Permisi..." Salim pun membalikan badan dan melangkah pergi.

Dhenia yakin Hans tidak akan marah. Bahkan mungkin dia akan merasa senang. Karena memiliki kesempatan untuk mendiskusikan rencana-rencana masa depannya bersama Indri tanpa terganggu oleh kehadirannya.

Apalah arti dirinya bagi Hans? Selain sebagai token untuk meraih harta warisan. Dirinya saja yang bodoh karena tidak bisa melihat kenyataan yang sebenarnya.

*****


Tumbal Cinta di lereng Arjuna.  Turun dari Land Cruiser Hijau Metalik yang di kendarainya, Hans bergegas naik ke lantai atas mencari Dhenia di kamarnya. Melihat tempat tidur yang masih rapi seperti tak tersentuh, Hans beranjak ke ruang baca. Di sana juga tak ada sosok Dhenia. Hans bergegas turun ke dapur mencari bi Sumi.

"Nyonya mana?" Tanya Hans tanpa basa basi.

Bi Sumi yang sedang memotong sayur berjingkat kaget, "oh ...tuan.."

"Nyonya mana?" ulang Hans dengan tak sabar.

"Nyonya pergi ke Pandaan, Tuan."

"Pandaan? Dengan siapa?"

"Dengan Salim, tuan."

Hans mengernyitkan kening dengan heran, "aku melihat Salim di depan."

"Anu.... Salim bilang, nyonya mau tinggal beberapa hari di Pandaan..."

"Kenapa?" tanya Hans dengan tatapa tidak senang.

"Tidak tahu tuan, Salim cuma bilang begitu...."

Hans terlihat kesal. Dia ingin menanyai Salim, tapi merasa kalau supir itupun pasti tidak tahu alasan mengapa Dhenia mendadak ingin pergi ke villa mereka di Pandaan, pakai menginap lagi.

Dengan rasa ingin tahu, Hans menuju meja telpon dan mendial nomor telpon Villa yang sudah dihapalnya di luar kepala. Terdengar sapaan hallo dari sebrang sana.

"Dhenia?"

"Ya?"

Wajah kesal Hans lenyap seketika. Matanya berbinar-binar mendengar suara Dhenia.
"Ada apa ini Dhenia? Kenapa tidak memberitahu aku kalau mau ke Pandaan? Aku kan bisa mengantarmu. Pakai nginep segala lagi. Siapa yang akan menemaniku tidur nanti malam?" ucap Hans pura-pura kesal.

Terdengar tawa kecil Dhenia, "kau boleh mencari teman tidur kalau kau mau.."

"Benarkah?" goda Hans.

"Ya.."

"Kau tidak keberatan?"

Dhenia tidak menyahut.

Hans menarik nafas dalam-dalam seolah-olah melepaskan sesal, "sayang sekali, Dhenia. Aku tidak bisa tidur dengan orang lain selain dirimu. Yang semalam itu....."

"Hans...." potong Dhenis cepat.

"Aku merindukanmu, sayang..." ucap Hans.

Tak ada sahutan dari Dhenia.

Hans merasa heran, tak biasanya istrinya sediam itu. Biasanya dia suka bercerita... apapun di ceritakan, "Dhenia?"

"Ehmmm....ya?"

"Kau baik-baik saja?" tanya Hans cemas.

"Ya, ... sedikit lelah."

"Kalau begitu, istirahatlah. Jaga dirimu baik-baik. I miss you!" ucap Hans sebelum menutup telponnya.

"I miss you tooo," guman Dhenia sedih. Jika dua hari lalu dia mendengar kalimat itu, pasti hatinya akan berbunga-bunga. Tapi hari ini, setelah apa yang di dengarnya kemarin, Dhenia merasa kasihan pada dirinya sendiri. Yang begitu mudah tertipu dan dipermainkan.

***** 

 Dhenia melangkah ke jendela dan duduk di pilarnya yang kokoh. Purnama menyinari puncak gunung Arjuna.

Malam sudah larut. rumah tempat tinggal sepasang suami istri yang di percaya Hans untuk menjaga Villa sudahpun gelap. Hanya terdengar suara jangkrik dan burung hantu yang membahana di kesunyian malam.

Pertama Hans membawanya ke Villa ini, Dhenia langsung jatuh cinta. Udaranya yang sejuk dan pemandangannya yang indah menambah romantis bulan madu mereka.

Dhenia menghitung mundur hari-harinya sebagai istri Hans. Hari ini tepat 350 hari sejak hari pernikahannya. Dan selama itu pula dia hanyut dalam cintanya pada Hans dengan membabibuta. Tanpa keraguan sedikitpun pada perasaan Hans padanya.

Dhenia memuja Hans sejak lama, jauh sebelum keduanya di jodohkan  oleh papa Hans. Semula Dhenia yakin kalau Hans pun mencintai dirinya sebesar perhatian yang dia tunjukan, tapi setelah kemarin, keyakinannya itu hancur menjadi kepingan-kepingan tajam yang menghujam ulu hatinya.

Semua terjadi setelah tanpa sengaja dia mendengar  pembicaraan Hans dan Indri ditelpon.
Dhenia masih ingat apa yang mereka bicarakan....

*****

Dhenia sedang melintas di ruang keluarga ketika telpon paralel berdering. Dia tahu Hans ada di ruang kerjanya, tapi entah mengapa telpon di biarkan berdering begitu lama. Karena menduga Hans sedang sibuk, Dhenia segera mengangkat telpon yang ada di dekatnya. Dhenia hendak menyapa hallo ketika lamat-lamat dia mendengar pembicaraan Hans  dengan seorang wanita.

Takut ketahuan menguping, Dhenia berniat meletakkan kembali gagang telpon. Namun saat mendengar namanya di sebut-sebut, Dhenia mengurungkan niatnya. Dia menajamkan pendengaranya unuk menguping apa yang Hans bicarakan dengan wanita itu dan siapa dia.

"Lalu kapan kau akan mengatakan pada Dhenia?" tanya wanita itu.

"Entahlah, Ind. Aku belum menemukan waktu yang tepat.." sahut Hans.

Dhenia mengenali siapa wanita yang menelpon Hans, dia adalah Indri teman dekat Hans.

Indri terdengar cemas, "Harus secepatnya, Hans! Aku sudah tak tahan. Aku takut kau jatuh cinta padanya."

Tak ada sahutan dari Hans. Indri memanggil Hans, "Hans? kau mendengar ku?"

"Ya...." sahut Hans lirih. "Sebenarnya...aku tidak tega mengatakan hal itu pada Dhenia. Dia terlalu baik untuk di sakiti.."

"Hans!!!" bentak Indri.

"Dengar dulu, "sergah Hans cepat. "Kau tidak tahu posisiku. Bagaimana aku harus memberitahu dia, bahwa aku menikahinya hanya agar aku tidak kehilangan warisan papa?  Aku tidak bisa membayangkan apa reaksinya setelah mendengar itu. Apa itu tidak terlalu kejam, In?"

Deg! Jantung Dhenia serasa berhenti berdetak. Tangannya cepat-cepat menutup mulutnya agar tidak memekik sedih. Pembicaraan itu terus berlanjut.

"Apa aku yang harus memberitahunya?" tanya Indri menantang.

Hans menyahut cepat, "tidak! Jangan! Biar aku saja."

"Kalau begitu lakukan secepatnya. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi Nyonya Hansady Kurniawan." ucap Indri dengan suara bernada perintah.

Dhenia tidak sanggup mendengar lanjutannyaa. Perlahan dia meletakkan gagang telpon di meja. Dan segera berlari kekamar dengan airmata yang tak bisa di bendung lagi. Ucapan Indri dan tekadnya untuk menjadi 'nyonya Hansady' terus terngiang-ngiang di telinganya.

Dengan lesu Dhenia menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan menangis sejadi-jadinya. Dia sama sekali tak menyangka lelaki yang sangat di cintainya, di pujanya sepenuh jiwa ternyata menikahinya demi harta warisan.  Hatinya hancur, harga dirinya tercabik-cabik. Dia tak tahu apa yang harus dilakukannya kini. Menemui Hans atau melabrak Indri?

Karena merasa tak mampu berpikir dengan jernih apalagi menghentikan airmatanya yang terus membajir, Dhenia memutuskan untuk pergi ke kamar Mandi. Dikuncinya pintu kamar Mandi dari dalam. Dan membiarkan shower meng-kuyubkan sekujur tubuhnya dan menghanyutkan air matanya. Lalu ide brilian itupun menyangkut di otaknya.

*****

Malam itu, Dhenia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Dia menemani Hans makan malam seperti biasa. Hans melihat mata sembab Dhenia. Sebelum Hans mengatakan sesuatu, Dhenia memberitahu Hans kalau perutnya sakit karena PMS.

Hans menatapnya heran, "bukankah baru beberapa hari yang lalu kau PMS?"

"Sudah hampir sebulan..." sahut Dhenia berbohong padahal baru sekitar 2 mingguan.

"Masa sih?" tanya Hans dengan kerlingan nakal.

Dhenia tertunduk malu. Dia tahu apa maksud kerlingan mata Hans. Dia menyembunyikan rasa jenggahnya dengan menyidukkan nasi dan lauk-pauk ke piring Hans. Hans menerima piring yang di sodorkan Dhenia sambil mengucapkan terima kasih. Lalu Dhenia mengambil makan malamnya sendiri.

Melihat Dhenia hanya mengambil sedikit nasi, Hans merasa heran, "kenapa makan sedikit sekali?"

"Nanti nambah..." sahut Dhenia lirih.

Hans tak lagi bertanya. Dia tahu setiap menjelang Menstruasi, istrinya itu selalu moody dan sedikit pendiam. Selama makan, Dhenia mencuri-curi pandang kearah Hans. Dia penasaran bagaimana cara Hans menyembunyikan perasaannya selama ini dan pura-pura perhatian pada dirinya. Hans yang merasa di perhatikan balas menatap Dhenia dengan alis terangkat. Dhenia terpaksa melenparkan seulas senyum termanis yang di milikinya. Hans pun ikut tersenyum penuh pesona. Membuat hati Dhenia kembali terkoyak dan berdarah.

Setelah membantu bi Sumi membereskan makan malam, Dhenia langsung masuk ke kamar. Hans yang sedang menonton Tv melihat itu  dan bergegas menyusul ke kamar.

Saat tiba di kamar, lampu sudah dimatikan. Suasana kamar remang-remang. Hans menajamkan matanya. Dia melihat Dhenia berbaring terlentang sambil memeluk bantal yang menutupi wajah dan sebagian tubuhnya. Hans mendekat sambil berjingkat. Dia menatap tubuh Dhenia dengan tatapan kagum. Kekaguman yang sama yang pernah dia perlihatkaan di malam pertama mereka. Dimatanya, Dhenia tidak berubah. Masih semempesona dulu. Yang berubah adalah perasaannya sendiri. Dulu dia menganggumi Dhenia tanpa cinta dan karena terpaksa. Tapi kini, Hans merasa telah jatuh cinta.

Hans duduk di sisi tempat tidur di samping tubuh Dhenia. Dhenia menoleh. Hans hanya melihat mata Dhenia yang sedang menatapnya. Hans menarik bantal yang menutupi sebagian wajah Dhenia. Keduanya saling bertatapan.

"Ada apa nyonya? Perutmu maasih terasa sakit?" tanya Hans sambil menyentuh perut Dhenia lembut.  Dhenia menangkap tangan Hans dan menggenggamnya. Hans menatap Dhenia sendu. Dhenia mengeser tubuhnya ke tengah. Merasa di beri tempat, Hans menelungkupkan tubuhnya di samping Dhenia. Dia menoleh agar bisa menatap wajah cantik istrinya.

Dhenia memiringkan badannya menghadap Hans. Keduanya saling bertatapan. Lalu entah siapa yang mulai terlebih dahulu, yang jelas keduanya kemudian larut dalam balutan kemesraaan yang tidak bisa di gambarkan. Membara dan penuh cinta. Dhenia meluapkan semua hasratnya dengan rasa cinta yang teramat dalam dan rasa benci yang mulai berkembang. Dalam hati Dhenia bertekad memberikan sesuatu yang paling indah malam itu, sesuatu yang tidak akan bisa dilupakan oleh Hans...

Tambahkan Komentar Sembunyikan

more Quotes