Tumbal Cinta di Lereng Arjuna bag 2

Tumbal Cinta di Lereng Arjuna bag 2. Dan Malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Hans tidur sendiri tanpa di temani Dhenia. Hans tak dapat memejamkannn mata sedetikpun tanpa di ganggu bayang-bayang Dhenia.

Seyumnya, tawanya, bibirnya yang cemberut manja saat merajuk dan lekukan tubuhnya yang indah, yang membuat Hans jatuh cinta dan tak pernah merasa puas menikmatinya.

Ide jatuh cinta yang menyelinap di hati Hans membuatnya tersentak kaget. Dia ingat janjinya pada Indri. Teringat Indri membuat Hans kesal. Dia tak ingin mengingat Indri. Dia hanya ingin mengingat Dhenianya saja.

Hans bertanya-tanya dalam hati, "ini cinta atau nafsu?" Ada rasa bahagia saat dia memeluk Dhenia. Dan ada rasa damai saat berdua dengannya. Perasaan yang tidak dia dapat saat bersama Indri. Indri yang termpramental, ambisius dan penuh sensasi.

Terkadang Hans heran mengapa dia bisa mencintai Indri. Indri yang mengaku mencintainya tapi bersikeras agar dia menikahi Dhenia demi harta warisan. Karena pak Yoga, papanya Hans mengancam akan mencoret Hans dari daftar ahli waris kalau Hans sampai menikahi Indri. Dan Indri rela membiarkan Hans berada dalam pelukan Dhenia, karena Indri tak sanggup hidup dengan Hans jika Hans melarat. Hans dan Indri telah sepakat menjadikan Dhenia sebagai tumbal cinta mereka berdua tanpa memikirkan konsekuensinya. Dan kini, tanpa dia sadari Hans telah jatuh cinta pada Dhenia....



Dan merindukan Dhenia sampai tidak bisa memicingkan mata. Dia  terus berpikir dan berpikir. Hingga tengah malam pun tiba. Seiring dengan suara dentang jam dinding 3 kali, sebuah kesadaran menonjok nurani Hans. Hans bertekad kalau pagi nanti dia akan menyusul Dhenia ke Pandaan. Untuk menumpahkan kerinduannya dan mengungkapkan perasaannya. Persetan dengan Indri dan kesepakatan mereka. Setelah memutuskan hal itu, rasa kantuk pun semakin menerpa. Hans tertidur lelap sambil memimpikan Dhenia.

*****

Dhenia sedang memangkas daun Bougenvile ketika mobil yang di kendarai Hans memasuki halaman Villa. Dhenia tertegun. Tak menyangkah Hans akan menyusul dirinya secepat itu. Hans yang menyangkah Dhenia sedang menyambutnya bergegas turun dari balik kemudi dan menghambur memeluknya. Dhenia tak menyambut pelukan Hans. Tubuhnya menengang kaku. Hans yang merasakan sambutan dingin istrinya melepas pelukannya dan menatap Dhenia dengan heran.

"Kenapa?"

Dhenia menggeleng. Dia letakan gunting stek di teras dan beranjak menuju pendopo. Hans mengikutinya dengan wajah binggung. Dhenia tidak mengucapkan sepatah katapun. Hans tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya. Di tariknya lengan Dhenia sehingga kini keduanya saling berhadapan.

"Ada apa Nia? Kenapa kau seperti tidak senang melihatku...."

Dhenia menarik tangannya dari pegangan Hans. Hans tak mau melepaskan tangan itu dan semakin mempererat genggamannya.

Dhenia akhirnya bersuara, "duduklah dulu..."

"Tidak! Katakan dulu, ada apa?" pinta Hans.

Dhenia tak menyahut, tak beranjak, juga tak berusaha menarik tanganya. Dia hanya berdiri menunggu. Hans tidak tahan didiamkan begitu. Diapun menyerah, "baiklah..."

Hans beranjak menuju ke sofa panjang dan menghempaskan pantatnya di sana. Dengan rileks dia membaringkan tulang punggungnya yang terasa pegal. Surabaya-Pandaan bukannya dekat. Tapi demi Dhenia, Hans rela bertungkus lumus di belakang kemudi selama hampir 2 jam.

Dhenia beranjak kedalam. Tak berapa lama dia keluar dengan nampan berisi gelasdan sebotoh air mineral sejuk kesukaan Hans. Dhenia meletakkan nampan itu di meja. Hans menepuk sofa di sampingnya dan meminta Dhenia mendekat. Namun dhenia pura-pura tak melihat. Dia duduk berseberangan dengan hans dan terhalang meja.

Hans bangkit dari berbaringnya. Dia mengambil botol air mineral dan langsung menegaknya. Setelah itu dia menarik kursi dan duduk tepat di depan Dhenia. Di amatinya wajah cantik istrinya itu dengan tatapan penuh selidik. Tidak ada yang berubah darinya, kecuali sikap dingin dan kakunya itu.

"Jauh-jauh aku dari Surabaya dan sambutanmu begitu dingin padaku. Apa aku punya salah padamu?" Hans membuka kebisuan diantara keduanya.

Dia mengulurkan tangan hendak meraih jemari Dhenia ya berada di atas meja. Namun sebelum bersentuhan, Dhenia cepat-cepat menarik tangannya. Hans terlihat kesal dan hendak protes. Tapi Dhenia  mendahului bicara.

"Akan lebih baik kalau kita bicara terus terang, tidak perlu basa-basi." ucap Dhenia lirih.

"Tentang apa?" tanya Hans penasaran.

"Tentang kita...." ucap Dhenia dengan berat. Dia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "A...aku bersedia bercerai denganmu."

"Cerai??" pekik Hans kaget. Dia tertawa kecil, menyangkah Dhenia bercanda, "kau ini bicara apa?"

"Aku serius. Aku tidak akan mempersulit dirimu. Dan aku tidak akan menuntut syarat apapun selain agar kau mengizinkan aku tinggal di sini sampai semua urusan selesai.."

Hans menatap Dhenia dengan tajam. Dia melihat kalau Dhenia tidak sedang berkelakar. Dia menemukan kesungguhan di bening mata wanita yang sekarang di cintainya itu. Kesungguhan dan kepedihan.

Hans menyerah, "apa yang sesungguhnya terjadi?"

Dhenia berucap lirih, "aku tahu mengapa kau menikahiku. Dan aku bisa memahaminya..."

Hans terperanjat kaget, "Indri yang memberitahumu?"

Dhenia menggeleng. "bukan. Aku mendengar sendiri pembicaraan kalian di telpon hari itu.  Maafkan aku. Aku tidak berniat menguping..."

Hans teringat pembicaraannya dengan Indri di telpon 2 hari lalu. Hans merasa bersalah dan tertunduk lesu tak tau harus berkata apa. Menyangkal atau menghibur Dhenia. Hans bisa membayangkan bagaimana perasaan Dhenia sekarang.

Melihat Hans membisu, Dhenia terlihat kecewa. Semula Dhenia berharap, kebersamaan mereka selama ini akan membuat Hans memiliki sedikit rasa untuknya dan lebih memilih dirinya daripada Indri. Keterdiaman Hans mengungkap semuanya. Hati Dhenia semakin hancur. Namun dia tak ingin menunjukkan kehancuran hatinya didepan Hans. Sedaya upaya di tahannya airmatanya agar tidak jatuh.

Dengan suara serak, Dhenia berkata, "kau uruslah semuanya. Aku akan tanda tangan."

Muka Hans merah mendengar ucapan Dhenia yang ditelinganya seperti ketukan palu hakim yang memutusnya bersalah tanpa memberikan kesempatan padanya untuk membela diri.

Dengan wajah mengeras kaku menahan emosi, Hans berkata, "jika itu mau mu, baiklah. Aku akan segera mengurusnya. Dan kau bisa tinggal disini selama yang kau mau.."

Hans bangskit sambil meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja.

Dhenia menahannya, "kau mau kemana?"

"Aku akan kembali ke Surabaya untuk mengurus semuanya. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini. Toh kau sudah memutuskan semuanya.." ucap Hans ketus.

"Tapi dirimu baru datang..."

Hans tak mengubris ucapan Dhenia. Dia meloncat menuruni tangga dan masuk kemobilnya secepat kilat.

"Hans..." panggil Dhenia.

Hans menghidupkan mobilnya dan melaju meninggalkan halaman Villa tanpa menatap Dhenia lagi.

Dhenia berlari mengejar Hans, "Hans..."

Mobil Hans sudah lenyap di balik tikungan. Didepan pintu gerbang Villa, Dhenia menghentikan langkahnya. Dia jatuh berlutut sambil menangis sesengukkan. Hatinya terasa sakit melihat kepergian Hans. Seperti ada miliknya yang terenggut.

Sementara itu, Hans memacu laju Land Cruisernya dengan gila-gilaan. Kata cerai yang diucapkan Dhenia terus terngiang-ngiang di telinganya. Ada rasa kesal, marah dan juga sedih. Semudah itu Dhenia meminta cerai setelah semmua yang mereka lalui bersama. Apakah tidak ada setitikpun rasa simpati di hati Dhenia untuk semua perhatian dan kasih sayang yang telah dia berikan selama ini?

"Cerai...cerai..! Itu yang dia inginkan. Dia pikir siapa aku ini? Seenaknya saja dia mengambil keputusan!!" umpat Hans dalam hati.

Tambahkan Komentar Sembunyikan

more Quotes