Tumbal Cinta di Lereng Arjuna bag 3 (Tamat)

Tumbal Cinta di Lereng Arjuna bag 3 (Tamat).  Hari terus berganti. Sepanjang waktu itu, tak sedetikpun berlalu tanpa Hans memikirkan Dhenia. Hanya tentang Dhenia saja yang melintas di benaknya.

Awalnya, setiap kali pulang dari kantor, dia berharap Dhenia menyambutnya. Makan malam bersama dan bercengkerama setelahnya. Semakin hari harapan itu semakin pudar.

Kenangan tentang Dhenia membuat hatinya berdenyut nyeri. Kerinduannya semakin tak terpendam. Ingin dia mengunjungi Dhenia di Villa. Tapi takut jika sambutan yang akan di terima tak sehangat yang diharapankan. Hans berharap Dhenia akan menelponnya atau minta di jemput pulang. Tapi semua sia-sia. Akhirnya Hans berusahan melupakan Dhenia dan menyibukan diri dengan pekerjaannya.

Dan 2 bulan pun berlalu. Sejak pulang dari Pandaan, Hans menolak bertemu Indri. Selalu saja ada alasan yang di buat-buatnya untuk menghindari Indri. Awalnya Indri maklum dan merasa kalau kesibukan Hans sebagai direktur sebuah perusahaan besar, benar-benar menyita waktunya.  Tapi ketika kemudian Hans juga menolak panggilan telpon darinya, Indri tak bisa tinggal diam.

Siang itu, Indri menerobos kekantor Hans, meski satpam dan sekertaris Hans mencegahnya. Agar tidak terjadi keributan yang tidak perlu, Hans akhirnya bersedia menemui Indri meski dengan enggan.



Indri sangat gembira melihat Hans. Tanpa canggung dia bergayut manja di pundak Hans. Hans terlihat tidak gembira. Dia ingin menepis Indri tapi takut menyakiti hati gadis itu.

Setelah bicara kesana kemari tak menentu, Indri pun bertanya, "Bagaimana? Kau sudah memberitahu Dhenia tentang kita?"

Mendengar pertanyaan Indri, Hans terlihat tak suka. Tapi dia mengangguk juga.

"Lalu?" kejar Indri dengan rasa ingin tahu.

"Dhenia ingin bercerai.." guman Hans.

Indri terlonjak gembira dan bertepuk tangan. Hans membuang muka dengan sebal.

"Pucuk di cinta, ulampun tiba." ucap Indri dengan bahagia, "kapan kalian akan bercerai? Apa kau sudah mengurus semuanya? Aku jadi tidak sabar..."

"Siapa yang akan bercerai?" tanya Hans dongkol.

Indri terkejut mendengar pertanyaan Hans, "apa maksudmu?"

"Aku tidak akan menceraikan Nia..." jelas Hans.

"Kau???!" pekik Indri tak percaya.

"Ku pikir..... aku telah mulai mencintai Dhenia." ucap Hans seolah bicara pada diri sendiri.

Indri meradang geram, "Kau gila!!"

"Aku sudah memberitahumu tentang kemungkinan ini ketika kau memaksaku menikahi Dhenia.."

"Ini tidak mungkin! Kau  tidak mungkin mencintai Dhenia. Dia bukan tipe mu..." cerca Indri.

"Mungkin bukan. Tapi dia telah membuat aku jatuh cintaa. Saat ini saja, setelah 2 bulan tak melihatnya... aku tak bisa berhenti memikirkan dirinya. Mungkin aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya, Indri..." ungkap Hans.

" 2 bulan tak menemuinya? Memang Dhenia kemana?"

"Dia tinggal di Pandaan. Menolak untuk pulang kerumah setelah tahu kalau aku menikahinya demi harta warisan papa."

Indri sangat marah, "dan selama itu kau tidak memberitahu aku? kau malah menolak bertemu denganku...menolak telponku?"

"Aku ingin menenangkan diri. Aku butuh waktu untuk berpikir.." ucap Hans.

"Ini sudah tidak benar! Kau gila! Kau melenceng dari rencana kita semula..." pekik Indri marah.

"Maafkan aku, semua diluar kendaliku..."  sesal Hans.

Indri menatap Hans penuh selidik. Ddia coba memutas otak untuk mendapatkan simpati Hans lagi. Indri menari nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia menghampiri Hans dan memeluknya, "tidak apa, sayang. Aku tidak menyalahkanmu. Kita bisa memulai awal yang baru lagi setelah kau menceraikan Dhenia..."

Hans beranjak dari tempat duduknya dan mondar mandir di ruangan. Mata Indri mengikuti langkah Hans dengan gusar apalagi melihat kening Hans berkerut kencang. Indri merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Indri terlihat tidak sabar, "Hans..."

Hans menatap Indri yang berdiri didekat meja kerjanya dengan mata terpicing. Indri merasa tidak nyaman.

Kata Hans dengan santai, "kau tahu, Sepertinya aku sudah memutuskan untuk tidak menceraikan Dhenia. Aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya. Bahkan saat inipun, aku tak bisa berhenti memikirkannyaa. Merinduinya. Melihatmu, kerinduanku padanya semakin membara.."

Indri benar-benar tidak bisa menerima ucapan Hans. Dia marah, kesal campur benci. Dia merasa tersingkirkan dan tak mampu menahan diri lagi. Tanpa ba bi bu Indri meraih Asbak berisi permen dan melemparnya sekuat tenaga kearah Hans.

Hans berusaha berkelit. Tapi terlambat, ujung asbak sempat menyenggol pelipisnya sebelum meluncur memecahkan pintu yang terbuat dari kaca. Suara pecahan kaca dan pekik kesakitan dari Hans menarik perhatian karyawan. Sekretaris Hans, Susi, bertidak sigap. Dia memanggil satpam. 2 orang satpam yang selalu standby di depan kantor Hans bergegas datang.

Susi dan kedua satpam masuk ke kantor Hans. Mereka melihat Hans berjongkok di lantai sambil memegangi pelipisnya yang berdarah. Indri semakin kalap. Dia melempaar apapun yang ada di atas meja. Ketika dia hendak membanting laptop Hans, Satpam menyerbu dan memegangi tangannya. Indri berusaha memberontak. Tapi Satpam berhasil menguasai keadaan.

Hans memberi isyarat pada kedua satpam itu agar menyeret Indri keluar. Satpam menurut. Tidak terima di perlakukan begitu, kemarahan Indri semakin menjadi-jadi. Dia mencaci maki Hans sepanjang jalan keluar hingga lenyap di ujung tangga.

Susi menghampiri Hans dengan khawatir, "bapak terluka?"

Darah segar mengucur dari pelipis Hans yang sobek terkena ujung asbak yang dilempat Indri. Susi panik dan hendak bernajak pergi.

Hans cepat menegurnya, "kau mau kemana?"

"Mengambil P3K.." jawab Susi.

"Tidak usah," potong Hans cepat.

"Tapi pak..."

"Ambil kertas dan pulpen. Dan tulislah apa yang akan aku diktekan ini..." ujar Hans.

Susi cepat-cepat mengambil kertas dan pulpen yang berserakan di lantai dan  siap menulis setiap kata yang diucapkan Hans.

****

Hans menembus jalan Tol Gempol-Porong dengan kecepatan tinggi. Begitu masuk kekota Pandaan, Hans mengurangi kecepatan mobilnya. Saat keluar dari jalan raya Prigen menuju ke villanya, Hans melihat sebuah sedan warna merah berhenti di bahu jalan. Pemiliknya sedang bicara di telpon sambil mengamati ban mobil bagian belakang yang kempes. Hans merasa mengenali orang itu. Dia memelankan mobilnya.

Si empunya sedan merah mengenali Hans, "pak Hans..."

"Dr Susilo.." Hans balik menyapa. Dia menghentikan lands cruisernya tepat di belakang sedan merah itu. Hans menghampir dr Susilo dengan rasa ingin tahu.

"Kenapa, dok?" tanya Hans setelah keduanya bersalaman.

"Bannya kempes. Saya lupa membawa dongkrak..." jelas dr Susilo.

"Oh,  saya ada. jangan khawatir..." tanpa membuang waktu, Hans mengeluarkan dokrak dari bagasi mobilnya. Dia membantu dokter susilo menganti bannya yang kempes dengan ban serep tanpa di minta.

Setelah selesai, dokter Susilo mengucapkan terima kasih pada Hans.

"Dokter dari mana? kok dari arah sana?"

Dokter Susilo menatap Hans dengan tatapan menyelidik, "sebenarnya.... saya ingin mengucapkan selamat pada pak Hans."

Hans dengan bingung menerima jabat tangan dokter Susilo.

"Selamat atas apa, dok?"

"Sebenarnya akan lebih baik kalau bu Dhenia yang memberitahu pak Hans secara langsung. Tapi karena bapak sudah begitu baik pada saya, saya tidak bisa menahan diri untuk memberitahukan kabar gembira ini.."

Hans tambah binggung, "kabar gembira apa, dok?"

"Selamat, Pak Hans akan segera menjadi ayah." ungkap dokter Susilo dengan wajah gembira.

Awalnya Hans binggung. Tapi setelah mencerna apa maksud ucapan dokter Susilo, Wajah Hans seketika berseri-seri, "Dhenia hamil? benarkah, dok?"

Dokter Susilo mengangguk meyakinkan, "benar. memang baru 2 bulan. Pak Hans masih harus bersabar menunggu 7 bulan lagi.."

Hans refleks memeluk dokter Susilo dengan wajah gembira dan mata berkaca-kaca karena bahagia,
"saya haus segera menemui istri saya. Terima kasih, dok.."

Tanpa menunggu sahutan dokter Susilo, Hans bergegas masuk ke mobilnya dan melaju pergi.

****

Matahari sudah condong kebarat ketika Hans tiba di Villa. Dia hendak masuk kedalam ketika sudut matanya menangkap sosok Dhenia yang sedang duduk di gajebo di tengah kolam. Hans mendekat tanpa bersuara. Dia menatap Dhenia yang sedang asyik melihat ikan yang berenang kesana kemari berebut makanan.

Hans berdehem kecil. Dhenia menoleh. Dia kaget melihat Hans. Hans menatap Dhenia penuh kerinduan, "Hai...apa kabar?"

Dhenia bangkit dari duduknya dan menjawab sapaan Hans dengan sedikit gugup, "baik."

Keduanya saling bertatapan. Hans merasa kalau wajah Dhenia tambah cantik, meski tubuhnya terlihat lebih kurus. Dhenia hendak mendekat tapi urung ketika matanya melihat  map yang di pegang Hans.

"Kau membawanya?" tanya Dhenia dengan suara lirih.

Hans menatap map di tanganya dan mengerti apa yang dimaksud Dhenia. Hans mengangguk. Dia menyodorkan map itu kearah Dhenia.

Dengan tangan gemetar Dhenia mengambil map itu dan meletakkannya di meja. Tanpa membuka dan melihat isinya, Dhenia pamit, "aku ambil pen dulu..."

"Tidak usah. Aku sudah menyiapkannya.." Hans mengambil pulpen dari saku kemejanya dan mengulurkan pada Dhenia. Dhenia menerima pulpen itu dengan mata berkaca-kaca. Hans melihat semuanya. Dari tangan yang gemetar, mata yang berkaca-kaca. Hans sudah menemukan jawabannya yang di carinya. Dia ingin merengkuh Dhenia saat itu juga. Tapi Hans coba menahan diri.

Tanpa membuang waktu, Dhenia membuka map dan langsung mencari kolom tanda tangan. Sama sekali tidak berusaha untuk membaca atau memeriksa dokumen apa yang akan di tandatanganinya. Semua itu tak lepas dari pengamatan Hans.

Dhenia hendak membubuhkan tanda tanganya ketika Hans mencegah, "tunggu dulu, sebelum menandatangani itu, apa tidak ada yang ingin kau katakan padaku?"

Dhenia menggeleng, "tidak ada.."

Hans terlihat kecewa tapi tak melakukan aapa-apa. Dhenia pun membubuhkan tanda tangannya. Setelah semua dokumen di tanda tangani, Dhenia menutup kembali map itu dan memberikannya pada Hans.

Hans memeriksa kembali dokumen-dokumen dengan teliti. Membacanya satu persatu untuk memastikan semuanya sudah benar. Lalu sambil tersenyum puas dia berkata, "beres sudah. Terima kasih, ya."

Hans mengulurkaan tanganya. Dengan ragu Dhenia menjabat tangan Hans. Hans bisa merasakan tangan Dhenia yang gemetar dan dingin.

Dhenia berkata, "semoga kau bahagia.."

Hans tersenyum simpul. lalu tanpa berucap apapun, Hans membalikan badan dan melangkah pergi meningglkan Dhenia dalam keterpakuan yang menyakitkan.

Begitu dia mendengar suara mobil Hans, tangis Dhenia pecah. Air mata membasahi pipinya tanpa bisa di bendung .Dia tak menyangkah kalau mimpi bahagianya berakhir setragis itu. 

Dhenia menutup mukanya dengan kedua tangan, berharap tak ada orang yang akan melihatnya atau mendengar dirinya menangis tersedu-sedu seperti itu.  Tapi harapannya pupus ketika dia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya.

Dhenia tidak langsung menoleh. Dia mencoba menghentikan sesengukkannya lalu mengusap wajahnya dengan ujung lengan bajunya. Setelah dirasa wajahnya kering, dia berdiri dan menoleh.

Hans berdiri gagah didepannya dengan seulas senyum terukir di bibir. Senyum kemenangan...

Dhenia tidak tahu harus bagaimana, ketika Hans tiba-tiba memeluk tubuhnya dengan erat, "wanita bodoh! Bagaimana kau bisa berpikir aku akan menceraikanmu dengan semudah itu?"

Dhenia binggung mendengar ucapan Hans. Tapi tak urung,  Dhenia balas memeluk Hans sambil menangis. Hans mendekap erat tubuh Dhenia dan mengelus rambut istri terkasihnya. Tangis  Dhenia tambah keras.

Hans protes, "berhentilah menangis. Nanti kolamnya banjir!"

Dhenia mencubit perut Hans. Hans memekik kesakitan. Lalu keduanya tertawa bersama ditengah derai air mata Dhenia.

Hans mendudukan Dhenia di bangku gajebo. Dia jongkok didepan Dhenia. Satu tangan mengenggam erat jemari Dhenia, sementara tangan yang lain sibuk mengusap pipi Dhenia yang basah oleh airmata.

"Maafkan aku, Nia. Aku telah membuat kesalahan yang besar. Maukah kau memaafkan aku?" pinta Hans.

Dhenia hendak mengangguk, tapi Hans mencegahnya, "kau tak perlu menjawabnya sekarang. Biarkan aku menebus setiap detik dari kesalahan yang ku buat dengan selalu berada disisimu. Meyayangimu, menjagamu dan anak kita..."

Dhenia tersentak, "darimana kau  tahu ...tentang anak kita?"

"Aku bertemu dokter Susilo di tengah jalan tadi."

Otak Dhenia langsung bekerja, "jadi kau kembali karena anak yang kukandung?"

"Tentu saja! Kau pikir karena dirimu?" Hans tertawa jahat.

Dhenia mendorong tubuh Hans yang berjongkok di depannya, "kau jahat! Aku tidak akan memaafkanmu. Setelah resmi bercerai, kami akan menghilang dari hidupmu!"

Dhenia bangkit hendak pergi, Hans menghadangnya, "kau tidak bisa meninggalkan aku! Kau telah menandatangani perjanjian bahwa apapun yang terjadi, kau Dhenia Artamevia tidak akan pernah meminta cerai dariku dan akan hidup bersamaku sepanjang hayat, sampai kakek nenek, dalam suka dan duka..."

Dhenia menatap Hans penuh kebencian. Hans membalas tatapan benci Dhenia dengan senyum termanis yang dia punya, "kau tidak percaya? Baca saja ini!"

Hans mengulurkan kembali dokumen yang telah di tandatangani Dhenia. Dhenia merebut dokumen itu dari tangan Hans dan memeriksanya satu persatu. Hans tidak bohong. yang ditanda tangani Dhenia bukan dokumen perceraian, tapi sebuah pernjanjian pernikahan seumur hidup. Dhenia menatap Hans tak percaya.

Hans mengerling nakal, "bagaimana? Masih tidak percaya?"

Melihat wajah bingung Dhenia Hans tersenyum lebar. Tiba-tiba Dhenia sadar kalau Hans sedang mempermainkan dirinya lagi. Dia menghambur kearah Hans dan memukuli dada bidang Hans berulang-ulang. Hans mengadu kesakitan sambil tertawa-tawa.

"Kau jahat! Jahat sekali!!!" ucap Dhenia kesal dan geram.

Hans menangkap kedua tangan Dhenia dan menatapnya penuh arti, "kau yang jahat, karena minta cerai dari ku! Apa kau tidak tahu betapa baiknya aku padamu selama ini?"

Dhenia menyangkal, "baik apanya? Kau menikahiku demi harta warisan."

"Memang. Tapi kemudian aku mendapatkan yang lebih berharga dari harta warisan yaitu dirimu! Apakah kau tidak bisa melihat, betapa aku tergila-gila padamu, Dhenia?" tanya Hans.

Dhenia menatap Hans tepat di matanya, mencoba mencari kejujuran atas ucapannya di sana.

"Apakah aku harus berteriak agar semua orang tahu betapa aku mencintaimu?" tantang Hans.

Dhenia mengangguk. Hans membuka mulutnya lebar-lebar hendak berteriak, tapi Dhenia keburu membekap mulut Hans dengan bibirnya. Keduanya berciuman. Mesra dan penuh cinta.

"Aku mencintaimu, Dhenia..." ucap Hans dalam hati.

"Aku juga mencintaimu, Hans.." sahut Dhenia, juga dalam hati.

Ketika dua hati mulai bicara dan saling mengerti, maka pepohonan dilereng Arjuna pun ikut menari.   The END.                                                                                                     
 ( Pandaan, 30 April 2010)

Tambahkan Komentar Sembunyikan

more Quotes