Harusnya malam Jumat, ngaji! G boleh OL.
#Renungan Malam Jumat.
Berpuluh tahun yang lalu, saat aku masih imut-imut (kayak mut-mutan), menjadi cucu 'mbok nyai' itu tidak sesederhana yang di lihat orang. Semua serba di atur. Kapan harus ngaji, kapan harus tidur, kapan harus main.
Mo berangkat sekolah, kalau lewat depan rumah orang, dan orang itu sedang duduk di depan rumahnya, maka aku harus bilang, "nyuwun sewu.." Diantara saudara-saudara, aku yang paling pelupa. Biasanya aku nyelonong begitu saja. Dan orang itupun segera membuat pengaduan. Sehingga begitu pulang sekolah, 'Nyai Mar' menyambut dengan cetolan di paha.
Apalagi kalau pulang sekolah membawa bunga hasil metik dari pagar rumah orang, cetolan pun bertambah. Dari sekian banyak saudaraku, aku yang paling sering kena cetol.
Pamit ngaji, padahal main badminton. Pulang dicetol.
Waktunya mandi untuk sekolah, masih nyari sendok-sendokan di lapangan. Kena cetol lagi.
Pulang sekolah berenang di blumbang belakang rumah (kolam ikan) sampai basah kuyub, kena cetol lagi...
Sampai akhirnya pahaku kebal dengan cetolan.
Sekolah di MINU (Madrasah Ibtidaiyah) tidak membuat aku sealim murid yang lain. Aku tetap badung dan selalu ingin bebas. Aku paling benci pelajaran Nahwu Shorof karena hapalan terus. ๐
Setiap hari selasa malam ( klu g salah), harus ikut pengajian di Ponpes Assuniyah kencong sampai terkantuk-kantuk.
Jika Malam Jumat tiba, Nyai Mar akan mengumpulkan cucu-cucnya, lalu duduk melingkar untuk berdoa bersama kirim arwah. (yang sampai sekaran masih kulakukan dengan rutin, yang daftarnya semakin lama semakin panjang....)
Jumat pagi, mijitin kaki Mak Nyai Mar sambil mendengarkan pak pok mengulang kajian Kitab Kuning.
Dulu, itu adalah Rutinitas yang membosankan, tapi sekarang sering kurindukan. Karena kebersamaan yang singkat itu memberi begitu banyak pelajaran berharga.
๐Kita menjadi seperti sekarang karena masa lalu.Karena itu, jika ingin meraih masa depan, harus berani merangkul masa lalu!!
Tambahkan Komentar Sembunyikan