Prolog Cinta yang Terkoyak. #mirorstory #portalfiksi
"hai bang, dirimu nikah lagi ya??" tanyaku ketika yang di seberang sana masih menyahuti salamku. Pertanyaanku to the point, tanpa basa basi.
Lama tak ada sahutan.
"Bang??"
"oh..eh..iya Han, tunggu ya! Abang akan pulang secepatnya, kita bicara..." ucap orang yang kupanggil abang dengan nada cemas dan suara terbata-bata.
Tanpa banyak bicara kututup telpon.
Rasa marah, kesal, kecewa dan sakit hati yang kurasakan sejam yang lalu, langsung menyusut begitu mendengar suaranya. Mungkin karena sebagian besar sudah terbuang lewat air mata.
Aku tahu, jarak gunung dan rumahku sekitar 2 jam jika naik motornya ngebut. Jadi aku masih punya waktu 2 jam untuk menata hatiku dan memikirkan langkah apa yang harus kuambil.
Tapi otak ku serasa berat saat ku pakai untuk berpikir. Hatiku terasa penuh sehingga tak mampu menimbang apapun lagi. Penuh oleh rasa benci, jijik dan muak. Sungguh tidak bisa kutepis rasa muak yang memenuhi hatiku. Ingin rasanya aku pergi, agar tidak perlu melihat mukanya lagi. Tapi aku tidak tahu mau kemana, karena tidak ada tempat bagiku yang lebih nyaman dari rumahku ini.
Dan yang paling parah, aku tidak tahu apa yang kuinginkan saat ini. Hatiku menolak untuk menemuinya, tapi pikiranku menyuruhku tetap di tempat dan menghadapi semua masalah.
Selagi aku berpikir seperti ini, terdengar suara motor gunung berhenti di halaman. Aku hapal suara motornya. Itu pasti suara si abang. Aku melirik jam dinding, belum 2 jam kok sudah datang. Dalam keadaan biasa aku pasti menyambutnya dengan omelan. Karena waktu tempuh yang singkat menandakan kalau dia ngebut sepanjang perjalanan.
Terdengar suara pintu gerbang dibuka denga tergesa-gesa. Dan...
"Han..." sapanya begitu dia berdiri dipintu dan melihatku duduk di tangga.
Aku bangkit berdiri dan menatapnya dengan muak. Hatiku berseru geram. Ingin rasanya aku menyerbunya dengan tamparan dan cakaran. Tapi ketika kulihat wajahnya yang lelah dan cemas.. Aku jadi iba.
Mungkin karena melihat aku diam saja, si abang bergegas menghambur kearahku hendak memeluk. Aku mendorong tubuhnya dan berkelit menjauh. Dia terhenyak kaget, mungkin tak menyangka jika aku bisa sekasar itu.
"Maafkan aku, Han..." ucapnya lirih penuh rasa sesal.
Setelah berdiri cukup jauh dan aman dari jangkauannya, aku kuatkan hati untuk bertanya....
"Kapan abang menikahinya??"
"Se... setahun yang lalu. Han, abang..." ucapnya terbata-bata.
Dengan tak sabar aku memotong kalimatnya, "jadi sudah setahun abang membohongi aku? Kalau aku tidak bertanya, apakah abang akan memberitahu aku kalau menikah lagi?"
"Aku....." dia terlihat bingung.
"Jawab, bang!"
"Abang tidak tahu..."
"Kenapa tidak tahu?" kejarku.
"Abang tidak ingin Hany sedih..."
"Kalau abang tidak ingin aku sedih, kenapa abang menikah lagi dan membohongi aku?"
"Abang tidak bisa menolak keinginan emak.."
"Abang tidak bisa menolak keinginan emak atau abang tidak bisa menahan diri melihat janda cantik, montok..."
"Hany...!" potong nya cepat.
"Aku sudah pernah bilang, jika abang mau menikah lagi, abang harus menceraikan aku. Karena aku tidak ingin membagi abang dengan wanita lain ketika abang masih dalam pelukanku. Aku tidak bisa membayangkan abang bercinta dengan wanita lain, lalu bercinta denganku. Mencium wanita lain lalu menciumku. Memeluk wanita lain lalu memeluk ku..." sergahku geram. Rasa jijik, muak menjalari benak ku membuat perutku mual.
" Maafkan aku, Han."
Aku berdiam sejenak dan menarik nafas panjang untuk menenangkan gejolak dalam jiwaku.
"Emak ingin punya cucu dariku. Aku tidak bisa menolaknya, Han. Emak menangis dan memohon padaku..."
"Apakah setelah setahun menikah ada tanda-tanda abang bakal punya anak??" tanyaku dengan suara gemetar menahan muak.
Si abang menggeleng, "belum.."
"Apakah kalau punya anak abang masih ingat pulang? Masih ingat diriku??"
"Pasti. Abang selalu ingat padamu. .."
"Apa abang juga teringat padaku saat meniduri dia? Apa abang membayangkan bagaimana perasaanku saat abang mencumbu dia??"
Hatiku sesak lagi saat mengatakan itu. Bayangan si abang bercinta dan bercumbu rayu dengan istri barunya bermain-main di benak ku.
Abang tertunduk diam. Tidak mau menjawab pertanyaanku atau tidak mampu...? Aku tidak tahu.
Aku mengamati sosoknya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Perasaanku berkata, ini akan jadi kali terakhir aku bisa melihatnya sedekat ini. Hatiku sedih memikirkan itu.
Aku memejamkan mata menahan perih. Aku berharap ketika ku membuka mata, semua hanya mimpi. Tapi ternyata tidak. Sosok yang pernah sangat ku cintai itu masih berdiri di hadapanku, tertunduk lesu. Wajahnya yang murung dipenuhi oleh rasa bersalah dan penyesalan.
Aku benar-benar merasa sedih. Tapi jika kubiarkan tanpa keputusan, rasa sedih itu tidak akan berakhir. Aku pasti akan terkubur dalam kesedihan, kekecewaan dan bisa jadi akan hilang akal karena terus menerus hidup dalam kecurigaan. Karena itu, mesti berat kuberanikan diri untuk berkata...
"Aku tidak akan meminta menceraikan dia. Dia janda, punya anak 2. Dia lebih membutuhkan abang daripada aku..."
Mendengar kata-kataku, si abang mengangkat wajah dan menatapku penuh harap. Aku memalingkan muka tak mampu menatap wajahnya...
".. karena itu, aku minta abang menceraikan aku sekarang juga... "
"Tidak! Abang tidak akan menceraikanmu! Tolong beri abang kesempatan..."
"Kalau abang tidak mau menceraikan aku sekarang, aku akan memberi abang waktu sebulan untuk memikirkannya. Tapi mulai detik ini dan seterusnya, aku minta abang membebaskan aku dari semua tanggungjawabku sebagai seorang istri. Karena aku tidak mau melayani abang lagi..."
"Hany, aku....."
"Jika masih ada rasa sayang abang untuk ku, abang pasti tidak ingin aku menanggung dosa karena menolak menjalankan kewajiba seorang istri ??"
"Abang sayang padamu..."
"Kalau begitu, bebaskan aku dari tanggungjawab sebagai istrimu. Atau ceraikan aku sekarang juga..."
Si abang diam berpikir. Aku menunggu dengan was-was dan tak sabar...
"Aku tidak ingin menceraikanmu, Han. Aku akan membebaskanmu dari tanggungjawabmu sebagai istriku. Aku ikhlas kalau kau tak mau melayani aku sebagai suami. Aku tidak menyalahkanmu. Aku yang bersalah padamu. Maafkan aku.."
Air mata yang kutahan tak lagi bisa kubendung. Aku menangis, tapi tak tahu apa yang kutangisi....
"Sekarang, pergilah abang pada istri abang. Datanglah jika abang sudah punya keputusan. Tapi jangan datang jika aku tidak meminta abang datang. Aku tidak ingin melihat abang...." ucapku sambil terisak. Ini benar-benar menyedihkan. Keputusan yang kuambil ini sangat berat dan tak tertanggungkan. Tapi terpaksa harus kutanggung....
"Aku akan pergi. Aku harap ketika aku kembali, abang sudah tak ada di sini. Abang jangan khawatir. Aku akan mengemas baju dan barang-barang abang. Besok, suruh Halim untuk mengambilnya..." ucapku sambil berbalik pergi.
"Hany........" panggilnya putus asa.
Aku menoleh. Kutatap wajah tampannya yang basah oleh air mata. Ingin aku menghambur kearahnya dan menghapus air matanya. Tapi sekuat tenaga aku menahan diri...
Aku mencoba tersenyum, "terima kasih karena selama ini telah membuatku bahagia. 10 tahun kita bersama, abang telah begitu baik, sabar dan penuh pengertian padaku. Terima kasih bang. Semoga abang akan membahagiakan Uci dan anak-anaknya, seperti abang membahagiakan aku..." lalu tanpa menunggu sahutannya aku bergegas pergi. Dan tak menoleh lagi. Agar dia tak bisa melihat wajahku yang basah kuyup tersiram air mata.
Tambahkan Komentar Sembunyikan