5
tahun lalu, sebagai puteri ayah yang masih hidup, aku mewarisi harta dan juga hutang
yang tinggalkannya. Perkebunan kopi yang
hanya 5 hektare, adalah sumber penghidupan yang utama. Dari hasil kebun itu aku
menafkahi hidupku dan membayar hutang-hutang ayahku. Tapi tahun ini, cuaca
ekstrim telah menihilkan harapan panen. Hutang peninggalan ayah dengan susah
payah berusaha aku bayar. Sayangnya, hingga mendekati jatuh tempo aku tidak
bisa mendapatkan dana talangan untuk melunasi hutang. Segala daya upaya ku
lakukan. Salah satunya adalah menemui pemberi hutang.
Jalalludin
Khumayun, hanyalah sebuah nama bagiku. Tak pernah menemuinya secara langsung.
Tapi untuk meminta penangguhan pembayaran hutang ini dia memberi syarat agar
aku datang sendiri menemuinya dan berunding 4 mata. Aku tak punya pilihan lain
selain menerima syaratnya.
Maka
di sinilah aku sekarang. Duduk menunggu di teras sebuah rumah besar yang sangat
terkenal. Dulu ayah pernah memberitahuku kalau tuan Khumayun Tua adalah seorang
yang budiman dan dermawan. Keduanya berteman. Meski tidak begitu dekat tapi
cukup akrab. Ketika ayah terkena musibah dan membutuhkan dana yang sangat
besar, Tuan Khumayun menawarkan bantuan dan memberi pinjaman. Beliau meminta
ayah membayar pinjaman itu dengan cara mengangsurnya setiap tahun dalam jangka
waktu 20 tahun. Dengan catatan jika
dalam waktu 10 tahun ayah tidak bisa melunasi hutangnya, maka tanah perkebunan
akan di ambil alih, dan ayah mendapat pembayaran penuh sebesar hutang yang di
pinjamnya.
Bag 3
Tambahkan Komentar Sembunyikan